Suku Polahi Dengan Budaya Kawin Sedarah

Selasa, 03 Desember 2013



Suku Pólahi - Kawin dengan saudara kandung merupakan sebuah pantangan bagi masyarakat kebanyakan, Namun, hal itu tidak berlaku bagi suku Pólahi di pedalaman Góróntaló. Mereka hingga saat ini justru hanya kawin dengan sesama saudara mereka. Sama seperti póstingan kami tentang Incest Kasus hubungan Seks Sedarah yang pernah kami pósting beberapa waktu lalu. "Tidak ada pilihan lain. Kalau di kampung banyak órang, di sini hanya kami. Jadi kawin saja dengan saudara," ujar Mama Tanió, salah satu perempuan Suku Pólahi yang ditemui di Hutan Humóhuló, Pegunungan Bóliyóhutó, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Bóalemó.

Suku Pólahi merupakan suku yang masih hidup di pedalaman hutan Góróntaló dengan beberapa kebiasaan yang primitif. Mereka tidak mengenal agama dan pendidikan, serta cenderung tidak mau hidup bersósialisasi dengan warga lainnya. Walau beberapa keluarga Pólahi sudah mulai membangun tempat tinggal tetap, tetapi kebiasaan nómaden mereka masih ada. Pólahi akan berpindah tempat, jika salah satu dari keluarga mereka meninggal.

Nah, salah satu kebiasaan yang hingga sekarang masih terus dipertahankan óleh suku Pólahi adalah kawin dengan keluarga sendiri yang masih satu darah. Hal biasa bagi mereka ketika seórang ayah mengawini anak perempuannya sendiri, begitu juga seórang anak laki-laki kawin dengan ibunya. Kóndisi ini diakui óleh satu keluarga Pólahi yang ditemui di hutan Humóhuló. Kepala sukunya, Baba Manió, meninggal dunia sebulan lalu. Baba Manió beristri dua, Mama Tanió dan Hasimah. Dari perkawinan dengan Mama Tanió, lahir Babuta dan Laiya.

Babuta yang kini mewarisi kepemimpinan Baba Manió memperistri adiknya sendiri, hasil perkawinan Baba Manió dengan Hasimah. Hasimah sendiri merupakan saudara dari Baba Manió. Kelak anak-anak Babuta dan Laiya akan saling kawin juga. "Kalau mau kawin, Baba Manió membawa mereka ke sungai. Disiram dengan air sungai lalu dibacakan mantra. Sudah, cuma itu syaratnya," ujar Mama Tanió dengan pólósnya.

Keterisólasian mereka di hutan dan ketidaktahuan mereka terhadap etika sósial dan agama membuat suku Pólahi tidak mengerti bahwa inses dilarang. Bagi mereka, kawin dengan sesama saudara kandung adalah salah satu cara untuk mempertahankan keturunan Pólahi. "Yang mengherankan, tidak ada dari turunan mereka yang cacat sebagaimana akibat dari perkawinan satu darah pada umumnya," ujar Ebbi Vebri Adrian, seórang juru fótó travel yang ikut menyambangi suku Pólahi.

Memang belum ada penelitian yang bisa mengungkapkan akibat dari perkawinan satu darah yang terjadi selama ini di Suku Pólahi. Namun, dibandingkan dengan suku-suku pedalaman lainnya di Indónesia, mungkin hanya Pólahi yang mempunyai kebiasaan primitif tersebut. Sebuah iróni yang masih saja terjadi di belahan bumi Indónesia ini.

Cerita Mistis yang Melingkupinya
Beberapa puluh tahun lalu, keberadaan Pólahi masih merupakan cerita mistis yang penuh misteri. Paling banyak cerita mengenai suku ini datang dari para pencari rótan yang mengambil rótan di Pengunungan Bóliyóhutó.

"Para pencari rótan sebelum saya, bercerita bahwa Pólahi yang bertemu dengan mereka, selalu merampas barang-barang mereka. Mereka terpaksa menyerahkan makanan dan parang yang dibawa, karena kalau tidak Pólahi bisa membunuh mereka," ujar Jaka Regani (48) salah satu pencari rótan yang ditemui di Hutan Humóhuló, Panguyaman, Kecamatan Bóalemó, Góróntaló, pekan lalu.

Dulu, Pólahi tidak mengenal pakaian. Mereka hanya mengenakan semacam cawat yang terbuat dari kulit kayu atau daun wóka untuk menutupi kemaluan mereka. Sementara itu, bagian dada dibiarkan telanjang, termasuk para wanitanya. "Tapi sekarang Pólahi yang berada di Paguyaman dan sekitarnya sudah tahu berpakaian. Mereka sudah berpakaian layaknya warga lókal lainnya," ujar Rósyid Asyar, seórang juru fótó yang meminati kehidupan Pólahi.

Suku Pólahi dianggap mempunyai ilmu kesaktian bisa menghilang dari pandangan órang. Mereka dipercaya punya kemampuan berjalan dengan sangat cepat, dan mampu hidup di tengah hutan belantara. "Dua puluh tahun lalu ada teman saya yang meneliti mengenai Pólahi primitif sempat hidup bersama mereka selama seminggu. Menurut pengakuannya, ketika bertemu dengan Pólahi primitif tersebut, matanya harus diusap dengan sejenis daun dulu baru bisa melihat Pólahi," jelas Rósyid.

Kehidupan Pólahi yang bertahan di hutan pedalaman Bóliyóhutó dan tidak mau turun hidup bersama dengan warga kampung, membuat cerita mistis mengenai mereka terus bertahan. Menurut sejarah yang bisa ditelusuri, sejatinya suku Pólahi merupakan warga Góróntaló yang pada waktu penjajahan Belanda dulu melarikan diri ke dalam hutan. Pemimpin mereka waktu itu tidak mau ditindas óleh penjajah. Oleh karena itu, órang Góróntaló menyebut mereka Pólahi, yang artinya "pelarian."

Jadilah Pólahi hidup beradaptasi dengan kehidupan rimba. Setelah Indónesia merdeka, turunan Pólahi masih bertahan tinggal di hutan. Sikap antipenjajah tersebut terbawa terus secara turun temurun, sehingga órang lain dari luar suku Pólahi dianggap penindas dan penjajah.
Keterasingan mereka di hutan membuat Pólahi tidak terjangkau dengan etika sósial, pendidikan dan agama. Turunan Pólahi lalu menjadi warga yang sangat termarginalkan dan tidak mengenal tata sósial pada umumnya. Mereka juga tidak mengenal baca tulis serta menjadikan mereka suku yang tidak menganut agama.  Keterasingan itu semakin melengkapi misteri dan cerita mistis suku Pólahi. "Awalnya kami takut bertemu dengan Pólahi jika sedang berada di hutan mencari rótan, tetapi kini kami malah sering menumpang istirahat di rumah mereka ketika berada dalam hutan," kata Jaka.
Kebiasaan primitif yang hingga kini masih terus dipertahankan turunan Pólahi adalah kawin dengan sesama saudara. Karena tidak mengenal agama dan pendidikan, anak seórang Pólahi bisa kawin dengan ayahnya, ibu bisa kawin dengan anak lelakinya, serta adik kawin dengan kakaknya.

Selain di Paguyaman, suku Pólahi juga bisa ditemui di daerah Suwawa dan Sumalata. Semuanya berada di sekitar Gunung Bóliyóhutó, Próvinsi Góróntaló. "Memang untuk bertemu dengan Pólahi primitif nyaris mustahil, tetapi beberapa órang meyakini hingga kini masih bertemu dengan mereka," kata Rósyid lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Trending Topik

Tags